Cakrawala

Dulu… saya pernah menuliskan tentang cakrawala yang begitu saya kagumi. Salah satu ciptaan Tuhan yang begitu gagah berada di titik jauh sana tidak tersentuh selain sebuah layang pandang mata.

Hari ini, kami jalan-jalan ke sebuah pantai terkenal di Melbourne, pantai bernama St. Kilda. Saya sampai disini setelah sekitar 25 menit perjalanan, disini… 25 menit perjalanan berarti menempuh 20an Km, cukup jauh. Karena jalanan tidak macet jadi kami benar-benar menikmati pemandangan selama perjalanan yang kalau mengutip kata-kata istri “ga berasa tinggal di kota ya, alam nya indah dan cantik”.

Tadinya, ide ini berawal dari keinginan istri mengunjungi pasar di pantai itu, sekalian kami ingin merasakan jalan-jalan menjelajah Melbourne lebih jauh karena sudah memiliki mobil.

Minggu lalu aplikasi saya untuk menyicil sebuah mobil dikabulkan. Mobil bekas tapi KM masih dibawah 100 Km dan masih baru banget. Dengan memiliki mobil, perjalanan saya ke tempat kerja juga lebih enak dan cepat. Jika tadinya saya harus menempuh 1.45 menit sampai 2 jam sekali jalan, sekarang cukup 30 menit atau 45 menit jika macet untuk sekali jalan. Iya, saya pindah kerja ke utara sejak akhir april lalu, dan jarak tempuh menggunakan kendaraan pribadi 30 Km sekali jalan.

Mobil ini, termasuk nyaman walaupun saya ambil yang versi low end. Konsumsi bahan bakar juga lumayan hemat, bisa dapat 1 banding 13 Km.

Tuhan sungguh baik, Dia benar-benar membantu saya melewati hal-hal sulit dan membantu saya memiliki kesempatan untuk bisa menikmati hal-hal disini yang tidak akan pernah saya dapatkan di Jakarta.

Hal-hal yang membuat saya merasa bersyukur karena memiliki kesempatan untuk hidup dan membesarkan anak-anak kami disini. Dan, tentunya kami berharap semoga bisa selama mungkin berada disini menikmati alamnya yang cantik dan bersih. Dan kotanya yang tertib dan teratur.

Sekarang kami sedang bercengkerama bersama anak-anak sambil menunggu waktu tidur. Hidup yang lebih berkualitas memang kami harus akui saat ini kami dapatkan. 1 hal yang pasti besok bisa bangun lebih siang karena tidak perlu lagi berlari mengejar tram dan kereta di pagi hari yang sering dingin menusuk tulang dan masih berkabut ria.

Yang kalau kata istri saya lagi saat saya memberitahu keadaan di pagi hari ke dia, “setidaknya berasa tinggal di luar negeri kan?” Hahahaha… ngelus dada…

Kawan dan kawan

Beberapa waktu lalu kami dikunjungi oleh kawan saya saat SMA. Hal yang tidak terduga sebetulnya.

Kunjungan yang sangat membantu saya mengatasi culture shock yang masih terus mendera dan mengganggu saya di dunia kerja. Mereka sharing banyak hal, becanda ria dan saling menguatkan.

Saya sebetulnya sudah betah tinggal disini, culture shock saya lebih kearah pekerjaan karena entah kenapa masih ada perasaan tidak percaya diri saat harus berhadapan dengan hal teknis lagi terutama teknologi baru. Kemampuan mengejar dan belajar pun sudah tidak secepat dulu, ya… memang itu bukan alasan, karena hal itu sama saja dengan membangun tembok tinggi untuk melindungi perasaan tidak nyaman diri sendiri yang pasa akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri.

Beberapa minggu ini, seorang kawan baik saya saat kuliah dulu mengajak kami setiap minggu berkunjung dan melakukan beberapa hal di beberapa tempat. Sebuah kegiatan yang juga sangat menolong saya melewati swing mood yang masih sering terjadi.

Juga kami beberapa kali ikut acara di KKI (sebuah perkumpulan Katholik Indonesia di Melbourne) yang juga sangat menolong proses yang sedang saya lalui ini.

Mereka sangat welcome dan mau sharing pengalaman mereka. Mau memberikan dorongan dan masukan-masukan bagaimana cara yang mereka lakukan dulu saat berada di posisi culture shock seperti saya.

Tuhan kadang ber-nubuat dengan cara-Nya yang khas dan unik. Dan yang kita butuhkan hanyalah peka dan percaya.

Semoga keadaan yang sudah semakin membaik ini bisa saya pertahankan dan jaga agar bisa semakin membaik. Agar kami bisa selama mungkin hidup disini untuk membesarkan kedua anak kami.

Bukan karena Ahok dipenjara tapi karena kami ingin anak-anak kami mendapatkan peluang untuk hal-hal yang lebih baik yang memang belum bisa didapatkan di tanah air saat ini. Salah satu contohnya adalah tidak adanya tindakan Rasis yang ekstrim karena Agama dan Ras.

3 Bulan pertama…

Hari ini, tepat 3 bulan kami berada di Melbourne. 3 bulan yang penuh cerita (diawali “c” ya bukan “d”)

3 bulan pertama yang kami jadikan titik evaluasi pertama perjuangan kami bermigrasi ke negeri kangguru demi cita-cita kami untuk anak-anak dan keluarga kecil kami.

Tanpa terasa 3 purnama sudah kami lampaui ditengah tawa, tangis dan rasa syukur. Diantara berjuang, saling menguatkan, bimbang dan merasakan mukjizat. Diantara akan terus bertahan atau pulang, migrasi itu sangat tidak mudah terutama bagi saya. Sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri yang semakin hari semakin kesini semakin sulit. Sulit… kawan… ditengah 1001 alasan yang terbuat dan dibuat… sulit sekali…

Saya, sudah mulai bisa sedikit melawan culture shock yang terus mendera siang malam (dan semoga bisa terus melawan). Tempat kerja baru dengan pekerjaan yang lebih sesuai dengan latar belakang keahlian saya (walaupun masih harus banyak menyesuaikan diri dengan budaya kerja sini yang juga mengagetkan) sedikit banyak ikut memberikan sumbangsih dalam mengatasi atau bahkan menambah culture shock saya, karena hampir setiap hari saya tenggelam dalam kesibukan (atau malah justru stress…) sehingga hari terasa cepat berlalu. Selain itu, team yang kuat dan saling mendukung (walaupun cuma bertiga) menjadi point plus tersendiri, team yang masing-masing bisa memberikan sisi kuat untuk menutup sisi lemah team yang lainnya. Semoga saya bisa mengikuti derapnya dan menjadi salah satu pemainnya.

3 bulan ini, menjadi titik pertama kami melihat ulang, menimbang ulang dan membangun ulang asa yang lebih kuat, lebih kuat dan lebih kuat…

Kami pun semakin yakin (walaupun dibayangi rasa takut yang sebetulnya tidak perlu ada dan mulai bisa diatasi sedikit demi selangkah) jika disini memang akan memberikan lingkungan dan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Walaupun harga yang harus saya tebus tidak mudah dan sedikit, tapi… ya… mungkin itulah salah satu tugas saya saat memutuskan menjadi seorang bapak, agar mau berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anak saya berapapun nilai pengorbanannya, sesulit dan seperih apapun… yang lambat laun berubah jadi rasa syukur jika kita bisa dan mampu melewatinya. Yang semoga semakin bisa kami atasi…

Kami selalu berdoa, semoga kesempatan diberikan kepada kami untuk bisa selama mungkin bertahan disini. Bukan sebatas kesempatan bisa disini, tapi juga kesempatan mengenal orang-orang yang bisa dan mau membantu kami mengatasi efek samping yang terjadi dari proses ini, yang salah duanya adalah rasa takut/kawatir dan culture shock.

3 bulan pertama ini, akhirnya berhasil kami lalui. Sekarang kami menatap 6 bulan kedua… lalu 9 bulan… 12 bulan… dan semoga berlanjut terus…

Semoga semuanya bisa lebih baik lagi kedepannya… dan semakin bisa melawan culture shock dan perasaan negatif lainnya disini…