Suka Duka hidup di Melbourne

Sejak kepindahan kami ke Melbourne banyak yang bertanya kepada saya mengenai migrasi ke Australia. Dulu… saat saya memutuskan untuk pulang dulu, Super Blogger kondang yang blog nya membagi mengenai hal-hal di Australia yang dia alami, yang juga menjadi salah satu santapan mata saya yang jelalatan saat mencari informasi mengenai negara ini pernah mengatakan kepada saya “saya merasa bersalah karena membuat kamu berpikir hidup di Australia itu mudah lewat tulisan-tulisan ku”, yang tentu langsung saya jawab “Ga kok don, jangan merasa seperti itu”

Hidup… setiap manusia beda lembaran, juga beda garis dan tikungan. Saat itu saya memutuskan pulang karena beberapa pertimbangan yang hanya dipahami oleh saya dan istri saya, jadi tidak ada hubungannya dengan mengaitkan itu kepada kesalahan pihak lain, so… take it easy Don as usual

Hidup di negara orang tentu ada suka tapi juga ada duka nya. Perkara migrasi itu bukan perkara sederhana (walaupun bagi beberapa orang mungkin sederhana, tapi tidak untuk saya pribadi), banyak hal yang harus ditimbang terlebih dahulu, apakah benar-benar sudah tekad?

Sukanya tinggal di Melbourne, Australia itu banyak, sebagai negara maju, fasilitas yang disediakan oleh negara bagi penduduknya terutama anak-anak, manula, dan penyandang cacat sangat baik dan semakin maju mengikuti kemajuan negara itu sendiri. Fasilitas yang bersih, nyaman, dan tertib menjadi titik-titik yang tidak bisa kita bantah jika di Indonesia memang masih jauh dibandingkan disini. Belum lagi mentalitas penduduknya yang sadar jika hal-hal seperti ini memang harus dijaga bersama, bukan sendiri atau membiarkan orang lain yang menjaganya.

Udara yang bersih walaupun dingin ya (terutama di Melbourne) membuat nilai plus lainnya. Air yang juga bisa langsung diminum dari keran, dan taman-taman yang membentang dimana-mana lengkap dengan fasilitas bermain untuk anak-anak semakin memanjakan kami sebagai penduduk disini. Belum lagi fasilitas kesehatan yang baik, pendidikan yang juga sudah matang sistemnya, dan bantuan dari pemerintah kepada kami karena single income demi menjaga anak-anak, dll.

Selain suka, juga ada dukanya, dulu saat pertama kali kami migrasi kesini, saya yang sudah begitu nyamannya di Jakarta dengan semua pencapaian yang sudah ditangan, harus menyadari jika semua hal itu harus saya lepas dan memulai dari awal. Kesulitan dalam mencari pekerjaan membuat saya bekerja serabutan dulu saat itu, saya bekerja di restoran. Disini, asal mau kerja pasti bisa hidup, tapi ada sedikit cerita yang tidak bisa saya bagi disini karena menyangkut privasi pihak lain yang membuat saya memutuskan untuk pulang dulu saat itu.

Kembalinya kami ke Melbourne kali ini tidak lalu serta merta membuat segalanya terkesan mudah. Awal-awal kami disini saya mengalami gegar budaya yang parah baik di kehidupan pribadi maupun di pekerjaan. Perasaan takut, minder, dan ingin pulang ke Jakarta hampir setiap detik meledak dalam pikiran dan hati saya saat itu. Saya cukup beruntung memiliki teman-teman yang bisa sharing dan mau mendengarkan keluhan-keluhan saya, cukup meringankan saat itu walaupun ledakan-ledakan itu selalu kembali bahkan kadang lebih kuat dari sebelumnya.

Puncaknya ada pada bulan ketiga kami disini, saya saat itu benar-benar seperti orang linglung, ketakutan seperti dikejar-kejar setan, terutama di pekerjaan, semua itu diperburuk oleh rasa minder dan post-power syndrome yang saya hadapi karena harus down-grade dari manager ke engineer, walaupun saya berulang kali mengatakan kepada diri saya tidak masalah menjadi engineer lagi, tapi rasa ego itu tetap harus dikendalikan dengan kuat, selain rasa minder karena sudah lama tidak di area teknis, ditambah kendalah bahasa yang butuh banyak penyesuaian. Saya sangat beruntung memiliki seorang istri yang kuat, karena dialah saya bisa melewati semua ini, dia tidak henti-hentinya memeluk saya, menyuntikan kata-kata motivasi, mengingatkan berulang apa yang menjadi tujuan saya membawa keluarga migrasi ke Melbourne sampai meninggalkan semua yang kami miliki di Jakarta.

Pelan tapi pasti kemampuan teknis saya mulai kembali, sedikit demi sedikit saya mulai menguasai kembali semua keahlian teknis saya yang sempat terkubur itu. Saya termasuk orang yang beruntung karena bisa langsung mendapatkan posisi senior engineer di pekerjaan professional kedua saya disini. Terlepas dari semua Cisco Networking Certificate yang saya miliki, kemampuan di lapangan yang digali selama interview tetep paling menentukan kita bisa mendapatkan pekerjaan atau tidak.

Selain gegar budaya, cuaca, makanan dan pekerjaan. Hal lain yang tidak enak adalah jauh dari keluarga, memang… dengan migrasi nya kami kesini membuat kami benar-benar belajar mandiri, tapi ada donk saat-saat dimana kita kangen kalau ada keluarga di dekat kita, apalagi saat salah satu dari saya atau istri sedang sakit sedangkan anak-anak harus ada yang jaga kan. Memang, disini kita sebagai karyawan diberikan banyak fasilitas untuk bisa mengatasi hal-hal seperti itu seperti care leave, parental leave etc tapi jika ada mama yang bantuin kan beda hahaha…

Sekarang saya sudah jauh membaik, kami sudah mulai langkah-langkah kecil kami disini, meniti anak tangga satu demi satu untuk memulai kehidupan disini. Kami sudah mulai membangun kehidupan disini sedikit demi sedikit dan semoga semakin baik ke depannya.

Migrasi itu bukan perkara sepele dan mudah, itu juga kenapa setiap ada yang bertanya kepada saya selalu saya tanya balik “kenapa mau migrasi?”

Kenapa? Bukan bermaksud sombong atau menggurui, tapi dari semua yang sudah saya lewati membuat saya berani bilang hal ini tidak mudah, jadi untuk yang ingin migrasi hanya karena ingin “mencoba” saja langsung saya minta timbang ulang, karena buat apa membuang waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit itu hanya untuk mencoba? Walaupun memang pada akhirnya tetap terserah yang ingin migrasi, mau tetep mencoba juga tidak masalah. Saya hanya berusaha sharing pengalaman saja.

Lalu ada yang bertanya, kalau bukan karena “mencoba” lalu harus karena apa? Lebih baik ingin migrasi karena ada tujuan yang lebih dari sekedar “mencoba”, terlebih jika kalian bukan berasal dari keluarga yang sangat kuat secara finansial. Misalnya seperti saya, tujuan yang saya pasang bukan mencoba, tapi untuk pendidikan dan kehidupan anak-anak saya, jadi setidaknya saat saya mulai kendor, tujuan itu bisa saya gunakan untuk kembali mengingatkan saya dan memompa semangat saya lagi jika tujuan saya ini harus tercapai dan saya tidak boleh menyerah.

Migrasi itu banyak yang harus di siapkan, dan setiap titik persiapan memiliki kendalanya sendiri-sendiri, (terlepas dari sisi keterbatasan finansial) itulah kenapa kita butuh menyiapkan tekad dan niat yang benar-benar kuat terlebih dahulu sebelum melangkah.

Semoga sharing ini bisa sedikit membantu kalian yang sedang galau ingin migrasi.

2 Replies to “Suka Duka hidup di Melbourne”

  1. Pas banget nih mas sharenya buat sy yg benar2 lg galau karrna sdh frustasi di jakarta dgn sgala jeterbatasan finansial sy,rasanya sy butuh kehidupan dn oebdidikan yg lebih baik lg untuk anak saya.. Bisa ga mas tlg share sy di email bagaimana caranya utk bisa migrasi ke melbourne,karena memang itu impian saya sejak dlu yg belum bisa sy wujudkan.. Trims

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.